Jumaat, 30 Disember 2011

Demokrasi Sudah Terbukti Gagal Sejak Zaman Yunani Kuno
 
 Jumaat 30 Disember 2011
 oleh cosa

Baru-baru ini seorang aktifis dakwah melahirkan perasaan geram. Facebook miliknya dipenuhi dengan kritik pedas terhadap demokrasi. Ternyata kegusaran aktivis dakwah tersebut tidak kesaorangan. Puluhan komentar susul menyusul menyatakan hal serupa, hingga salah seorang melayangkan pertanyaan dari mana konsep tata negara demokrasi ini muncul.



Sejarah Demokrasi Awal: Idea Penuh Kritik

Demokrasi, rasanya sudah tidak lagi asing terdengar di telinga kita. Hampir dsetiap waktu pada abad 20, demokrasi menjadi sistem paling laris di pasaran dunia. Banyak negara mengadopsi demokrasi sebagai teras dalam konstitusi kenegaraan mereka, termasuk negara majoriti muslim seperti Indonesia dan Malaysia.

Demokrasi awalnya dinilai sebagai sistem terbaik karena menekankan sebuah sistem yang mementingkan kesejahteraan rakyat sekaligus membuka pintu kepada aspirasi rakyat. Kononnya ia mengacu kepada pemerintahan yang dibentuk dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat pada zaman Yunani kuno. Bagi pengusung idea demokrasi, hal ini memungkinkan kerana secara etimologi demokrasi berasal dari dua kata demos, yakni rakyat dan kratia yang berarti pemerintahan.

Namun berkaca dengan kondisi negara-negara dunia yang menerapkan demokrasi, ternyata sistem ini justru mengalami kegagalan waktu demi waktu. Aspirasi rakyat yang tadinya menjadi “tuhan” kini hanya menjadi marhein dan juga mangsa kepada para penghisap darah.

Di Amerika, misalnya, pendapat ini dikeluarkan oleh Gallup dan menunjukkan bahwa sokongan rakyat AS terhadap Kongres menurun dari 23 persen menjadi 18 persen pada Februari lalu. Dukungan publik terhadap Kongres dilaporkan telah menurun lebih rendah daripada 20 persen untuk pertama kalinya sejak Tea Party dan GOP (Grand Old Party, atau sebutan untuk Parti Republik), tahun ini. Bahkan golongan berkecuali (bebas) yang mendukungi Kongres turut turun dari 23 persen pada Februari menjadi 15 persen sahaja.

Walaupun demikian, para pengusung demokrasi tetap mengeliat (menafikan), menurut mereka keburukan sistem demokrasi selama ini disebabkan perilaku individu, dan bukan sistemya. Mungkin kerana mereka lupa bahwa demokrasi memliki basis (asas) kapitalisme dan liberalism sehingga maksud "rakyat" telah menjadi kabur.

Ahli Tata Negara, Robert Dahl, seperti dilapor oleh Riza Sihbudi dalam bukunya, “Menyandera Timur Tengah” (2005), menyatakan bahwa sebenarnya kata "rakyat" dalam demokrasi berbeza sekali dengan apa yang kita fahami pada masat ini. Dalam konteks Yunani Kuno pada masa itu, kata “rakyat “ tidak lebih sekumpulan manusia dari sebuah "polis" atau kota kecil. Hal tersebut membawa konsekuensi logis bahwa apa yang disebut sebagai demokrasi dalam pengertian aslinya sudah pun berbeza dengan demokrasi dalam pemahaman kontemporari. Dalam pandangan Yunani Kuno (awal abad ke 6 sampai ke 3 SM), demokrasi harus memenuhi enam syarat:

1. Warga Negara harus cukup serasi dalam kepentingan mereka
2. Mereka harus padu dan hommogeni
3. Jumlah warga Negara harus kecil (bahkan kurang dari 40.000)
4. Warga Negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan legislasi
5. Warga Negara juga berpartisipasi aktif dalam pemerintah dan,
6. Negara kota sepenuhnya otonomi.

Kesemuanya itu jelas tidak boleh dipenuhi oleh demokrasi moden sama ada dalam praktikal mahu pun teori, lanjut Dahl.lagi, kewarganegaran harus ekslusif dan bukan inklusif seperti yang terdapat dalam demokrasi moden. Demokrasi model ini saja sudah pun mendapat kritikan tajam oleh Aristotle (348-322 SM) dengan menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob.

Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang hodoh, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi tidak  akan lebih baik dari anarkisme, dan sangat sulit dibayangkan adanya suatu kelompok yang besar (majoriti) memimpin kelompok yang jumlahnya lebih kecil (minoriti).

Menurut Aristotle bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya ‘Politics’, Aristotle menyebut Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya negara Demokrasi memiliki sistem pemerintahan oleh orang banyak, dimana satu sama lain memiliki perbezaan (atau pertentangan) kepentingan, perbedaan latar belakang sosial ekonomi, dan perbezaan tingkat pendidikan.

Pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoriti di dewan perwakilan yang mewakili kelompok majoriti penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkis, menjadi tapak pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan.

Perbezaan-perbezaan tersebut menjadi penghalang kepada terwujudnya pemerintahan yang baik. Konsensus sulit dicapai dan konflik mudah terjadi. Apa kata Aristotle ternyata mirip dengan kondisi di Indonesia saat ini, dimana kepentingan para penguasa dan telah menjadi tayangan yang kita saksikan akhir-akhir ini.
Kebebasan Menghancurkan
Selain Aristotle, Plato (472-347 SM) juga melontarkan kritik tajam. Andai ia masih hidup, rasanya ia sepertI ingin mematahkan buku The End of History and The Last Man (1999) karangan Francis Fukuyama yang mengatakan Demokrasi Liberal adalah pemenangan dari benturan peradaban manusia modern.

Plato justru menekankan bahwa sesungguhnya liberalisasi itulah yang menjadi akar Demokrasi, sekaligus punca bencana mengapa Negara demokrasi akan gagal selama-lamanya.

Dalam pemerintahan demokratis, kepentingan rakyat diperhatikan sedemikian rupa dan kebebasan pun dijamin oleh pemerintah. Semua warga negara adalah orang-orang yang bebas. Kemerdekaan dan kebebasan merupakan prinsip yang paling utama.

Lebih lanjut Plato berstatemen:
.......they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like. (Republic, page: 11)

......mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang di dalamnya boleh melakukan apa yang disukainya.

Dan orang-orang semakin mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya ialah bencana bagi negara dan juga bagi para warganya sendiri. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah berbagai kerusuhan yang disebabkan oleh berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidak tertiban atau kekacauan (anarchy), perlakuan tidak bermoral (licentiousness) dan ketidak sopanan (immodesty).

Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rosak. Ia pun menyaksikan betapa negara menjadi rosak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena Demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan), dari sini muncul tirani (kezaliman).

Banyak orang yang (kala itu) melakuan hal yang tidak senonoh, anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas.

Oleh karena itu, dalam era perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan. Korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya. Jika di Yunani saja, Demokrasi telah gagal, kenapa banyak Umat Muslim mengikutinya?

Pembuatan undang-undang dalam negara Islam yang menjadikan kitabullah sebagai sandaran, tidak semata-mata pada tujuan kesejahteraan, tapi juga sebahagian dari tauhid menjalankan perintah Allah SWT.

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain membuat kebohongan (Al-An’aam: 116)”

“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati majoriti mereka orang-orang yang fasik.” (Al-A’raaf: 102)

“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi kebanyakan dari kalian membenci kebenaran itu.” (Az-Zukhruf: 78) (pz/dari berbagai sumber)

Dipetik dari blog Indonesia dan dibuat sedikit ubahsuai untuk memudah faham pembaca Malaysia. Satu nukilan yang baik untuk renungan pencinta demokrasai. Ia juga dapat dijadikan pedoman yang berguna bagi memahami kedudukan sebenar "demokrasi" tersebut. Dari sini umat Islam haruslah mencari ikhtiar meninggalkan sistem ini jika benar-benar mengharapkan keadilan kembali semula atas muka bumi.
 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan